Sejarah Keemasan Kerajaan Siak, Tahun 1723-1945
Rabu, 03 Januari 2018
Edit
KHAIRUL ASRI/SR
Kesultanan Siak Sri Inderapura  adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak,  Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecik,  anak dari Sultan Mahmud Shah sultan dari Kesultanan Johor yang dibunuh. Raja  Kecik dilarikan ke Pagaruyung oleh ibundanya Encik Apong. Dalam  perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang  kuat dan menjadi kekuatan yang di perhitungkan di pesisir timur Sumatera dan  Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh  pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus  mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut  kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur  perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan  Siak terakhir yaitu Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya Kerajaan Siak  Sri Indrapuri (Provinsi Riau saat ini) untuk bergabung dengan Republik  Indonesia.
Kata Siak Sri Inderapura,  secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa  Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat  bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau  "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat  dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau  seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
Membandingkan  dengan catatan tom  paires yang ditulis antara tahun  1513-1515, Siak merupakan  kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya  sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC Kesultanan Johor telah mengklaim Siak sebagai bagian  dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil  yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak. 
Dalam  Syair Perang Siak  Raja Kecil didaulat menjadi  penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan  Siak dari pengaruh Kesultanan Johor.Sementara dalam Hikayat Siak Raja Kecil disebut juga dengan sang  pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.  Berdasarkan korespondensi Sultan IndermasyahYang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan  Abdul Jalil merupakan saudaranya  yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri  yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil  dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.
Sebelumnya  dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674  telah datang utusan dari Johor meminta bantuan raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi. Dalam salah satu versi Sulalatus  Salatin, juga menceritakan  tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat  pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja  Jambi Sultan  Ingalaga kepada VOC pada tahun  1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari  perselisihan mereka. 
Pada  tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai  Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun pada tahun  1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara  Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran  dari Bugis, Raja Sulaiman  kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan mengukuhkan dirinya menjadi  penguasa Johor di Semenanjung Malaysia. Sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke  Bintan dan pada tahun  1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.  Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai  Johor ditinggalkan begitu saja,  dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai  tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor, diakui  oleh komunitas Orang Laut.  Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan Kepulauan  Riau yang membentang dari timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan  hingga runtuhnya Kesultanan Siak. 
Karena mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang  bersamaan orang-orang Bugis juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja  Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang  ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis  kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan  gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor  memudar. Dan pengantinya Sultan Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya  di pesisir timur Sumatera dan daerah vassal dikaedah dan kawasan pantai  timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian  ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan  wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan. Setelah Raja Mahmud wafat,  muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang  lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja  Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai  perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan membangun kekuatan di  gugusan pulau tujuh.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi  dari Raja Kecil. Didukung oleh orang laut ia terus menunjukan dominasinya di  kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di  pulau Bangka kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. 
Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Trengganu menaklukan  Kelantan hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara  Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di  kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang.  Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah membayar 3.00ringgit kepada Raja  Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara hikayat siak menceritakan  tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu  kedatangannya ke Palembang.
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan  yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan  daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam  pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan  VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor Sebelumnya mereka telah bekerjasama  memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau  Penyengat.
Kesultanan siak sri Inderapura mengambil keuntungan atas  pengawasan perdagangan melaluin Selat Melaka, serta kemampuan mengendalikan  para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari  catatan Belanda yang menyebutkan di tahun 1783 ada sekitar 171 kapal dagang  dari Siak menuju Malaka Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara  Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang
Namun disisi lain, kejayaan Siak ini memberi kecemburuan  pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka  pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap  Sultan  Siak, terlihat dalam Tuhfat  al-Nafis, di  mana dalam deskripsi ceritanya mereka menggambarkan Sultan Siak sebagai  "orang yang rakus akan kekayaan dunia".
Peranan Sungai  Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan  ini, berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura.  Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai  dari kapur barus, benzoar, timah, dan emas. Sementara pada saat bersamaan  masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka,  serta salah satu kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal maupun bangunan.  Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda  mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau  Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC.  
Namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses  langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan  hujan yang tidak berujung. 
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai  timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan. Mereka mampu  menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan. Selain  itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi  Minangkabau, melalui tiga sungai utama, yang mana sebelumnya telah menjadi kunci  bagi kejayaan. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak  memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau.
Kerajaan Siak tumbuh dan berkembang selama 222 tahun  yakni mulai dari tahun 1723 sampai 1945 dengan jumlah sultan yang memimpin  sebanyak 12 orang. Dari aspek zuriat, kerajaan Siak dipimpin oleh keturunan  Melayu dan keturunan Arab. Sedangkan dari aspek pemerintahan, kerajaan Siak  dapat dikelompokkan menjadi empat periode yakni (1) Periode tahun 1723-1784;  (2) Periode tahun 1784-1898; (3) Periode tahun 1898-1915; (4) Periode tahun  1915-1945.4 Hal ini disebabkan karena di kerajaan Siak terjadi  perubahan susunan pemerintahan yang berakibat kepada struktur pemerintah.  Perubahan itu disebabkan oleh berbagai perkara antaranya situasi yang dihadapi,  dan semakin kuatnya pengaruh Belanda terhadap kerajaan.
          Apabila dilihat dari priodisasi di  atas, maka periode pertama wilayah kerajaan tidak Nampak perluasannya. Hal ini  tidak diketahui sebabnya namun yang jelas pada periode ini timbul pergaduhan  dari dalam istana sendiri dalam hal memperebutkan kekuasaan. Sebagaimana yang  dikatakan oleh Hashim bahwa keturunan Melayu dari Raja Kecil tidak mendapat  peluang di istana sehingga mereka keluar dari kerajaan dan merayau kemana-mana  di laut Melayu.5 berarti pada periode tersebut perluasan wilayah  belum menjadi skala perioritas dalam urusan kerajaan. Demikian juga mengenai  pedoman kerajaan pun belum juga wujud karena pada masa ini sistem pemerintahan  mengacu kepada sistem pemerintahan yang dilaksanakan dalam kerajaan Johor. Oleh  karena itu dapat dikatakan bahwa pada periode ini kerajaan Siak belum mengalami  kejayaan.
          Kejayaan kerajaan Siak baru dimulai  semenjak sultan ketujuh yakni Sultan Said Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin  (1784-1810). Selain itu, pada periode ini sultan memakai tambahan gelar  as-Sayid as-Syarif karena berketurunan Arab yang bermula dari keturunan Sayid  Syarif Osman Syahabuddin yang kawin dengan Tengku Embong Badariah Puteri Sultan  Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4).    
       Kejayaan  yang diraih oleh kerajaan Siak berkelanjutan sampai sultan yang terakhir.  Meskipun dalam sistem pemerintahan terjadi perubahan namun kerajaan mengalami  perkembangan dalam berbagai bidang terutama pada bidang kawasan wilayah  kerajaan. Hal ini dapat dipahami bahwa Syarif Ali memiliki sifat dan bakat yang  turun dari ayahnya Sayid Osman yang piawai sebagai panglima pertahanan dan  keamanan kerajaan disamping juga seorang ulama yang handal. Artinya Syarif Ali  sebagai Sultan Siak berhasil meneruskan pekerjaan ayahandanya sehingga kawasan  kerajaan Siak pada masa pemerintahannya menjadi luas.
DAFTAR PUSTAKA
Jamil,OK Nizami,2013,sejarah kerajaan siak,bumi pustaka,jakarta.